SANTO EDMUND CAMPION - Dan Anak-Anak yang Tidak Terkalahkan.
by Lances in


Pagi hari di musim semi yang indah pada tahun 1581 … Empat orang anak laki-laki memandang keluar jendela tingkat atas dari rumah bertingkat dua, Blainscough Hall, yang terletak di dekat Standish di Lancashire. Thomas yang tertua berumur 13 tahun, kemudian Robert, Richard dan akhirnya yang paling kecil, John yang berumur 8 tahun. 
“Lihat, itu mereka disana!” katanya kegirangan. Memang betul, 3 orang terlihat sedang menuju kemari melalui jalan di mana pohon-pohon chestnut sedang bersemi, dan menuju ke kebun yang indah dari rumah itu. Dua orang dari mereka ialah seorang tuan dan seorang nyonya yang berumur kira-kira setengah abad dalam pakaian model jaman Elisabeth. Sedangkan yang seorang … sederhana, bahkan agak kumal pakaiannya.
“Ah, dia memakai pakaian pelayan!” anak kecil itu melanjutkan dengan nada yang kecewa.

“Ya, kamu tahu bahwa ia harus menyamar, bodoh!” jawab Thomas, kakaknya dengan cepat.
“Apabila ia tertangkap … ia akan dibawa kepenjara, disiksa dan mungkin dihukum mati di Tyburn,” jawab Robert.
“Saya tahu semua itu!” jawab yang kecil dengan marah.
“Tetapi paman Thomas dan pater yang bersembunyi disini, biasanya berpakaian seperti seorang tuan atau pedagang.”
“Penyamaran ini barangkali yang paling baik,” kata Thomas. “Mata-mata Negara tersebar kemana-mana. Marilah kita bersiap-siap menyambut mereka.”

Keempat anak laki-laki itu berlomba-lomba ke bawah lewat pintu menuju ke ruang tamu. Keributan karena kegirangan itu berhenti ketika orang tua mereka masuk ruang dengan tamu-tamu, nyonya dan tuan terhormat, dan yang seorang, pelayan itu, cakap dengan pandangannya yang tajam. Tiap-tiap anak yang diperkenalkan, berlutut untuk menerima berkat dari pater Serikat Yesus yang terkenal ini : pater Edmund Campion, yang sedang dicari-cari oleh pengejar-pengejar para imam. Karena pada waktu itu adalah saat yang menakutkan bagi orang-orang Katolik di Inggris, di bawah pemerintahan ratu Elisabeth, Earl dari Leicester, Lord Burghley dan lain-lainnya yang diputuskan untuk melenyapkan sisa-sisa dari agama Katolik, dan sebaliknya untuk membangun sekolah  mungkin dengan ajaran yang lain, dengan Ratu Elisabeth sebagai pemimpin dari Gereja Inggris, dan bukannya Paus.

Korban Misa telah dianggap melawan hukum Negara, dan pastor-pastor dilarang tinggal lagi di Inggris. Sedangkan mereka yang melindungi pastor-pastor itu atau mempergunakan rumah mereka untuk Misa, seperti misalnya Richard Worthington dari Blainscough Hall itu, dapat dihukum penjara, denda atau disita kekayaannya. Meskipun begitu, keluarga Worthington sangat bangga memikul resiko itu, bergembira karena Pater Edmund dapat bersama mereka, pada Paskah tahun 1581 ini. Sore hari sebelumnya, anak laki-laki itu telah mengajukan bermacam-macam pertanyaan tentang tamu yang mereka tunggu itu, sehingga ayahnya memutuskan jalan yang paling mudah yaitu menceritakan riwayatnya.

“Nah, Pater Campion dilahirkan pada tahun 1540, jadi kini ia berusia 41 tahun” mulainya.
“Ia adalah putera seorang penjual buku di London, bukan ayah?” sela Thomas.
“Dan ia bersekolah di Christ’s Hospital dan St. John’s Collage di Oxford!” kata Robert tak mau kalah.
“Nah, saya atau kaliankah yang akan berceritera,” Tanya ayahnya dengan tersenyum, dan menambahkan : “Ya, kalian benar. Di Oxford ia menjadi sarjana, dan ketika Ratu Elisabeth mengunjungi tempat itu, ia demikian tertariknya akan pidatonya yang dibuat untuk menyambut sang ratu, sehingga ratu mengirimkan orang kesayangannya, Earl dari Leicester, untuk mengatakan padanya bahwa ratu membutuhkan pembicara yang pandai seperti dia, sebagai pemimpin dari ajaran yang baru itu. Ini berarti bahwa ia akan menjadi cepat kaya dan berkuasa.”

“Tetapi saya kira ia seorang Katolik.” Lanjut John.
“Ia belumlah seorang Katolik pada waktu itu. Sebagai sarjana ia tidak menganggap agama sebagai hal yang penting, dan banyak sahabat karibnya termasuk dalam partai Ratu. Demikianlah ia bertemu dengan Earl dari Leicester itu, dan  ia pun bahkan ditahbiskan. Kemudian tibalah waktu yang penting, yaitu ia harus memutuskan apakah setuju atau tidak pada agama Katolik. Ia diminta untuk berkhotbah atas nama ajaran baru itu di Gereja Saint Paul di London.”
“Tetapi ketika tiba waktunya, ia menyadari bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang akan dianutnya, bukankah begitu ayah?” teriak Thomas.

“Ia menetapkan untuk memutuskan persahabatannya dengan Leicester. Ia melepaskan karirnya dan keluar dari Oxford, bukan ayah?”
“Ah, saya kira itulah suatu keputusan yang hebat!” teriak John.
“Memang demikian,” ayahnya menyetujui.
“Nah, sekarang dari Oxford ia pergi ke Irlandia di mana ia menyebutkan dirinya tuan Patrick.”
“Tetapi … mengapa ayah?”
“Lord Burghley … dan lebih terkenal dengan sebutan Sir William Cecil pada waktu itu … adalah salah seorang pengikut Ratu, yang marah karena kehilangan orang terpandai itu. Beliau menyuruh orang-orang mengejar penghianat Campion itu. Tetapi mereka tidak berhasil menangkapnya. Karena ketika Pater Campion mendengar tepat pada waktunya bahwa mereka dalam perjalanan untuk menangkapnya, ia menumpang sebuah kapal ke Flandria. Mereka sesungguhnya mencari ditempat itu, tetapi tidak menemukannya.”

“Bagaimana mungkin, ayah. Di manakah ia bersembunyi?”
“Ia tidak bersembunyi, tetapi mereka mencari seorang sarjana yang berpakaian bagus, sedangkan ia menyamar sebagai pelayan, yang majikannya adalah pembantu Earl dari Kildare. Di sana ia berdiri dan setiap orang dapat melihatnya dalam pakaian pelayan yang kumal, demikian cerita orang. Sangat tolol dan bodoh!”
Mereka tertawa geli sementara sang ayah melanjutkan : “Bagaimanapun juga, karena rahmat Tuhan, sesudah lewat Inggris ia mendarat dengan selamat di Douay.”
Anak-anak itu tahu bahwa Douay adalah sebuah kota di Flandria yang melindungi pelarian-pelarian Katolik. Mereka tahu juga bahwa seorang Pastor bernama Dr Allen, telah memulai sebuah perguruan di sana untuk mahasiswa-mahasiswa Inggris sehingga kenudian mereka dapat kembali ke Inggris sebagai Pastor Missionaris. Resikonya : penganiayaan dan kematian apabila tertangkap.
“Mula-mula Pater Campion mengajar sebagai professor, kemudian ia pergi ke Roma di mana ia bergabung dengan Serikat Yesus. Sebagaimana kamu ketahui, ia kembali mendarat di Dover (Inggris) bulan april 1580, setahun yang lalu.”

“Dan apakah yang telah dikerjakannya sejak waktu itu?” Tanya mereka ingin tahu.
“Kita harus meminta beliau untuk berceritera apabila beliau datang,” jawab ayahnya sambil tersenyum. Dan sekarang benar-benar orang Yesuit yang terkenal itu ada dirumah mereka. Mereka menjadi sangat girang ketika pada jam 11 waktu makan, ia mulai menceritakan pengalaman-pengalamannya yang berbahaya dan menarik itu.

“Hal yang pertama kali saya lakukan ketika mendarat di Dover adalah berlutut di belakang sebuah batu untuk memohon berkat Tuhan atas misiku, tetapi tiba-tiba aku malah ditangkap, dibawa kehadapan walikota, dan dituduh sebagai saudara Dr Allen.”
Anak-anak itu menjadi kaget, dan Pastor Campion melanjutkan ceriteranya : “Terhadap tuduhan itu aku menjawab, aku akan bersumpah bahwa aku bukanlah Gabriel Allen. Aku berdoa dengan sungguh-sungguh kepada pelindungku, Yohanes Pembaptis, dan kemudian suatu hal aneh terjadi, mereka melepaskan aku pergi!”

Pendengar-pendengarnya menarik nafas lega dan John dengan sangat girang berseru : “Pater, tahukah Pater bahwa kemenakan-kemenakan Dr Allen tinggal disini di Lancashire. Mereka adalah teman-teman kami. Eleanor, Catherine dan Mary. Mereka juga mengadakan Misa di rumah mereka. Tetapi Mary belum menerima Komuni Pertama.”

“Jangan keras-keras!” bisik saudara-saudaranya dengan marah, sementara ayah dan ibunya juga melihat padanya dengan tidak setuju. Tetapi Pastor Edmund hanya tersenyum sambil berkata : “Saya berhasil mencapai London. Sejak itu saya telah berkelana dimana-mana, kadang-kadang sebagai tuan Edmund, pedagang permata yang kaya dengan kuda dan pelayan, dan kadang-kadang sebagai pelayan seperti sekarang ini. Tetapi sepanjang waktu itu, karena kemurahan Tuhan, saya tetap merdeka dan dapat memberikan sakramen-sakramen secara rahasia kepada orang Katolik atau memenangkan jiwa atas kepercayaan mereka.”

Keesokan paginya kapel dari Blainscough Hall penuh dengan orang-orang Katolik yang datang dengan sembunyi-sembunyi lewat kebun, ingin mendengarkan khotbah Pater Edmund Campion. Sesudah itu Nyonya Allen yang tinggal dekat mereka, mengundang Pater Edmund untuk tinggal bersamanya di Ross Hall. Karena tahu bahwa ia adalah seorang janda yang tidak ada suami untuk melindunginya, Pastor Edmund menjawab dengan sedih : “Aku tahu betapa kuatnya kepercayaanmu. Aku telah mendengar bahwa pada suatu kali 12 orang pastor sekaligus berlindung di Ross Hall. Tetapi anda menyadari bukan, bahwa untuk berbuat semacam itu, anda menghadapi resiko penyitaan harta oleh pengikut Ratu?”
“Ya pastor, saya tahu. Tetapi sesungguhnya penyitaan semacam itu tidaklah sah karena suamiku mewariskan Ross Hall untuk anak-anak kami!” Sementara itu ketiga putrinya sedang bercakap-cakap dengan teman mereka … keempat putra Worthington.

“Aku sangat berharap bahwa pengejar-pengejar pastor tidak datang mencari kesini sementara Pater Edmund sedang bersama-sama dengan kita,” kata Thomas dengan nada Khawatir. “Kalau mereka menanyai kami, mereka tidak akan mendapat jawaban apa-apa,” kata Robert.
“Kami akan setia sampai mati!” kata Richard menambahkan.
“Apabila mereka datang pada kami, kami pun akan melawan mereka juga!” seru Eleanor.
Pastor Edmund melewatkan beberapa minggu berikutnya antara Blaincough Hall dan Ross Hall dengan pakaian seperti pelayan. Kecuali apabila mempersembahkan Misa ia memakai jubah yang disimpan pada tempat persembunyian dengan piala suci. Betapa menyenangkan masa Paskah pada waktu itu, dengan Mary Allen dan anak yang akan menerima komuni pertama, orang-orang dewasa yang berkumpul untuk menghadiri misa dan mendengarkan khotbah.

Pater Edmund menekankan pada diri mereka akan kebutuhan lebih banyak pastor yang ingin mengorbankan jiwa mereka untuk mencegah supaya Inggris tidak kehilangan kepercayaan sama sekali. Kini anak-anak Worthington itu sedang menikmati hidup di alam bebas, menunggang kuda, berburu dan menembak bebek. Tetapi mereka sangat terpengaruh oleh kata-kata Pater Edmund sehingga mereka merasa telah menyerahkan kehidupan mereka yang bahagia itu.

Pada suatu hari Thomas datang tergesa-gesa : “Pater Edmund,” serunya. “Ia telah ditangkap! Aku mendengarnya di desa!” Minggu pagi, dua orang mencarinya. Seorang diantaranya mengatakan betapa rindunya ia untuk menghadiri Misa. Nah, tampaknya tukang masak Elliot, seorang Katolik, sehingga ia mengaku bahwa Misa akan diadakan dengan rahasia oleh Pater Edmund sendiri. Begitu Ceritera Thomas. Keluhan sedih terdengar sementara Thomas melanjutkan : “Ketika tukang masak itu sedang meminta ijin dari nyonya rumah, orang yang lain itu menyelinap pergi kepada yang berwajib. Elliot mengikuti Misa kemudian ia pergi. Ketika mereka sedang makan terdengarlah tanda bahaya.” Thomas berhenti sebentar.

“Teruskan!” kata pendengar-pendengarnya.
“Tampaknya ada Cukup waktu bagi Pater Edmund dan dua orang pastor lainnya untuk bersembunyi, sebelum sekelompok orang bersenjata menyerbu masuk.”  Tiap-tiap orang menahan napas dengan khawatir ketika ia melanjutkan : “Mereka menghabiskan waktu sehari untuk menggeledah, merobohkan tembok dan merusak segala sesuatu. Keesokan paginya mereka memutuskan untuk berhenti. Kelihatannya Pater Edmund dan dua koleganya itu akan selamat, tetapi tepat ketika perusak-perusak itu pergi, Elliot sendiri yang memerintahkan supaya dinding di atas pintu masuk dirobohkan.”

“Yudas!” kata ayah mereka dengan pedih.
“Ya, dan bukan hanya Yudas saja … ia juga seorang pembunuh,” anaknya melanjutkan. Begitulah kata-kata orang di desa : seorang pembunuh yang mendapatkan ampun dari Earl Leicester supaya, dengan merubah agamanya dapat berlaku sebagai mata-mata terhadap orang Katolik.
Keluarga Worthington … keluarga Allen, dan semua orang Katolik di Inggris sangatlah sedih, mengetahui Pater Edmund telah ditangkap musuh-musuhnya. Pada hari-hari berikutnya yang penuh dengan ketegangan, mereka menjadi sedih ketika tahu bahwa ketiga pastor itu sedang di bawa ke London. Tak mungkin ditolong.

Lengan mereka diikat ke belakang pada topinya ditulis : “Campion si penghianat”. Penduduk di tepi jalan menyambut mereka dengan olok-olokan dan ejek-ejekan. Kemudian mereka mendengar bahwa Pater Edmund ditahan di Tower (Penjara Menara), suatu tempat yang mengerikan yang sring disebut pula “Little Ease” dimana hamper tidak ada tempat untuk duduk betul atau pun berdiri santai. Pada hari keempatnya  Pater Edmund dibawa ke Leicester House. Dalam keadaan lelah, lesu, dan sedih untuk menghadapi Ratu, Duke of Bedford dan Earl dari Leicester.

Atas pertanyaan-pertanyaan mereka, ia menjawab dengan sederhana bahwa kedatangannya ke Inggris hanya untuk menyelamatkan jiwa-jiwa dan ia tetap mengakui Ratu Elisabeth sebagai atasannya dalam hal-hal duniawi.
“satu-satunya kejahatan, tetapi cukuplah sudah, adalah bahwa engkau iman Katolik,” kata mereka.
“Dan itulah kemuliaanku yang terbesar,” jawab Pater Edmund. Ia dibawa kembali kemenara, disiksa … dan kemudian dituduh sebagai kepala komplotan untuk menolong orang-orang asing menjajah Inggris. Tuduhan tersebut disangkal mati-matian, karena itu tidak benar.  Tetapi tetap dianggap bersalah sebagai penghianat, sehingga ia dijatuhi hukuman gantung di Tyburn.

Pater Edmund masih mencoba meminta supaya kedua temannya, pastor Ralph Shehurin dan pastor Alexander Briant yang juga dari Serikat Yesus, dibebaskan namun tidak berhasil. Untuk 11 hari lamanya menunggu saatnya yang terakhir, saudara perempuannya datang untuk memohon padanya agar melepaskan kepercayaannya sehingga ia akan dibebaskan.  Sedangkan Elliot pun datang padanya untuk memohon pengampunan daripadanya.

Pada 1 Desember 1581 … dengan ditelentangkan pada sebuah papan yang diikat pada seekor kuda; Pater Edmund ditarik dari Tower agar lebih menderita, dibawa ke tempat penggantungan di Tyburn dan kemudian digantung sampai mati. Kata-katanya yang terakhir : “Saya seorang Katolik dan seorang imam Katolik … dalam kepercayaan itu aku … telah hidup dan dalam kepercayaan itu pula aku akan mati.” Bersama dengan dia pastor Shehurin dan pastor Briant ikut dihukum gantung.
Ada saksi yang memberitakan bahwa karenanya samapai 4000 orang Anglikan kembali ke Gereja Katolik. Demikian Pater Edmund Campion … menjumpai kemuliannya.
Comments (0)

SANTA JOANA FRANCISCA FREMIOT DE CHANTAL
by Lances in

Lahir di kota Diyon di negeri Perancis pada tahun 1572.

Hari itu juga si bayi dbawa ke Gereja untuk dipermandikan. Dan karena hari itu umat Katolik menghadapi hari pesta Santo Yoanes, maka bayi yang dipermandikan itu dinamai Joana.

Sayang, tak lama Yoana dalam asuhan ibunya yang baik itu. Dua tahun lampau meninggalah Margareta de Berbisy, ditangisi oleh para kaum miskin di kota Diyon.
Ayahnya, Benignus Fremiot, presiden parlemen pengadilan tinggi di Diyon, terkenal oleh jasanya terhadap Gereja, bangsa dan Raja, mendidik Joana. Dengan ayahnya yang bijak itu, Joana dapat mencapai keteguhan iman ketika dewasa.

Seorang pengasuh, dan kemudian beberapa guru terpilih olehnya, tetapi pendidikan rohani diusahakan sendiri oleh ayahnya sendiri, meski bagaimanapun sibuknya. Tiada heran juga karena pada masa itu iman negara Perancis sedang mengalami kesesatan yang menimbulkan perang saudara.
Joana seperti telah terbuka pengertiannya, bersusah hati mendengar kesesatan itu. Dan ayahnya tak pernah khawatir bahwa Joana akan mudah tersesat, karena perasaan gadis kecil itu halus, hingga rupanya sudah dapat menerka lebih dahulu siapa diantara tamu boleh disebut sebagai orang sesat.
Maklumlah, terutama golongan atasan tertarik oleh tipuan cerdik yang rasanya membebaskan mereka dari beberapa kewajiban berat. Para “Hugenot” demikian nama baru yang melambangkan pertentangan batin. Dan Benignus Fremiot, sebagai pejabat luhur, mau tak mau sekali-kali terpaksa berunding dengan mereka. Terpaksa pula mempersilahkan mereka berjamu ke rumahnya.

Joana si kecil molek, periang lagi jenaka, menarik perhatian para tamu itu. Kadang-kadang ada pula yang tak dapat menahan hatinya, ingin membelai-belai si kecil mungil. Tapi Joana tak suka menerima tanda kasih itu. Selalu ia lari masuk, menyembunyikan mukanya ke dalam pangkuan pengasuhnya sambil menangis tersedu-sedu. Beberapa kali terdengar pula gelak serta suaranya yang nyaring menjawab. Keheranan, pengasuhnya bertanya : “Engkau kenal tuan tadi itu, Joana?”

Gadis kecil itu menggelengkan kepalanya sambil berseru : “Tidak, tapi tuan itu bukan Hugenot!”
“Bagaimana kau tahu hal itu, nak?”
Mata Joana membesar : “Bukankah saya peri Roh Suci?” sahutnya.
Pada suatu peristiwa ketika Joana belum genap berumur 5 tahun, seorang pejabat luhur yang Hugenot datang mengunjungi ayahnya.

Sesudah selesai mengupas soal pengadilan yang dianggap penting, pergilah mereka ke beranda seraya mempercakapkan hal ini dan itu. Tamu agung itu membangga-banggakan pendiriannya, berani bertentangan dengan Sri Paus di Roma. Diejeknya dengan penuh sindiran tentang Sakramen Mahakudus. Joana yang sedang bermain disana terkejut. Benignus Fremiot mengerenyutkan dahinya, dan mengatupkan bibir agar terpelihara rasa kesopanannya. Namun tiba-tiba Joana meloncat! Dan sambil mengancung-ancungkan jari kecilnya katanya : “Tuan, sabda Yesus, Dia hadir. Mengapa tuan tidak percaya? Itu sama dengan menuduh Yesus pendusta!”

Tamu agung itu tertawa terbahak-bahak. Sebenarnya ia merasa bersalah juga dan telah menyesali ketidak-sopanannya. Terang baginya Benignus Fremiot terhina olehnya dalam rumahnya sendiri. Sebab itu untuk menghalaukan suasana yang pedih itu diraba-raba sakunya. Sebatang cokelat tebal, kertasnya berwarna mengkilat dikeluarkannya dan diberikannya kepada Joana. “Nah ini nak! Engkau sungguh pandai!” Joana memegang cokelat itu dengan pinggiran roknya. Lalu ia berlari ke arah perapian yang sedang bernyala-nyala karena musim dingin telah tiba. Dilemparnya cokelat itu ke dalam api : “Lihat tuan, begitulah orang pelawan Tuhan akan dibakar di neraka, sebab tak mau percaya atas Sabda Tuhan.”

Tanu agung memohon diri dan pergi dengan perasaan malu karena olok-oloknya berakibat pada dirinya sendiri. Sedangkan di sudut bilik berlututlah Joana di hadapan Salib dengan hati yang iba bercampur amarah.
Lambat-laun tibalah waktunya bagi Joana untuk bersekolah. Namun perjuangan batinnya di Perancis makin genting. Maka Benignus Fremiot yang amat memperhatikan pekerti anaknya, memutuskan bahwa Joana akan belajar dirumahnya. Ayahnya mendatangkan ibu guru yang seiman, dan yang sanggup mengajar Joana mengenai beberapa ilmu yang layak dipahami oleh seorang gadis dengan pekerti yang mulia. Hanya Katekismus tetap menjadi mata pelajaran yang diberikan oleh ayahnya sendiri.
Kini terbukti dengan jelas bahwa Joana memang anak yang terang budi lagi kaya batin. Bukan hanya ilmu kepandaiannya saja, kerajinan serta kesenian dalam wujud seni suara, musik dan melukis pun sangat digemarinya. Oo, betapa bangga Joana ketika berhasil menyulam bantal perhiasan tangga altar.!
Tapi, tak terbilang banyaknya hasil kerajinan tangannya yang membuat pakaian untuk si miskin. Sungguh lemah-lembut sikap Joana terhadap mereka yang bersusah. Benih kebajikan warisan mendiang ibunya Margareta de Berbisy yang menjadi harta pusakanya pada kemudian hari. “Kukira aku tak akan sanggup lagi mencintai Tuhan, jika kuabaikan nasib para miskin!” katanya.

Makin besar makin terasa oleh Joana kesunyian seorang anak yang telah ditinggal ibunya. Di dalam kesunyian itu ia meraba-raba, mencari tempat berjejak. Maka datang dari dalam rohnya yang beriman teguh, membanjir keluar menghanyutkan gadis itu kedalam arus keinginan akan cinta mesra sang ibu.
Suatu ketika Joana berlutut di hadapan patung Bunda Maria. Seraya merentangkan kedua belah tangannya, berseru : “Oh Bunda, jangan lupa bahwa hanya Engkau yang kusebut Ibu!” sejak saat itu Joana selalu meminta berkat Bunda Sorgawi sebelum menentukan sesuatu. Dan begitu katanya : “Belum pernah Bunda Maria mengecewakan keyakinanku.”

Pada tahun 1587 menikahlah kakak perempuannya yang tertua. Tak lama lagi akan pindahlah kakaknya ke tempat suaminya, di sebelah Utara Perancis. Joana diajaknya ikut serta, dan ayahnya dibujuknya agar sudi melepaskan anaknya yang bungsu itu.

Benignus Fremiot menimbang baik buruknya. Joana meninggalkan Diyon. Joana cakap, nyata kelebihannya dari gadis-gadis lain. Dalam hati ayah acap kali memuji keberaniannya. Perasaan hormat tumbuh pada ayah terhadap ketetapan pendirian anaknya yang bungsu itu. Akhirnya Joana diperbolehkan ikut. “Sambil akan menguji kesetiaanmu terhadap yang benar!” kata ayahnya.

Maka Joana meninggalkan ayahnya dan pergi bersama kakaknya ke daerah Utara itu. Sungguh ujian baginya suasana daerah itu. Kemerosotan iman penghuninya lebih tampak jelas. Gereja sunyi bagai rumah tak berpenghuni. Pengkhianatan terhadap segala yang suci terus dilakukan. Tidak heran Joana kecut, segan berpergian, dan diam-diam mencari akal untuk memperbaikinya.

Sementara itu Benignus, terpaksa oleh jabatannya, beberapa kali harus ikut menyelidiki suatu perkara ke kota lain. Hingga 5 tahun lamanya Joana tinggal bersama kakaknya. Ketika keadaan mulai membaik dan ayah dapat tinggal di kota Diyon, Joana pulang ke rumah.

Tak mengherankan, jika seorang gadis yang seperti Joana mendengar panggilan Tuhan. Ya, memang itu juga cita-cita Joana. Memberi silih untuk mereka yang mengkhianati Sang Kristus. Namun Benignus Fremiot belum pernah memikirkan kemungkinan tersebut. Sebaliknya , ayah telah meninjau ke segenap penjuru kalau-kalau ada ksatria sejati yang setia terhadap Gereja, bangsa dan raja, yang dapat dipilihnya sebagai suami Joana.

Mujur jua, baru-baru ini ayah berkenalan dengan Christophorus de Rabutin (Baron de Chantal). Seluruh perhatian ayah tertarik oleh bangsawan muda itu. Untuk berunding dengan orang tua Baron de Chantal tidaklah sukar bagi ayah Joana.

Ketika Joana yang remaja itu tiba disisinya, ayahnya memaparkan ikhtiarnya yang telah berhasil. Mula-mula Joana terkejut. Ah apa yang akan dijawabnya? Tak sampai hatinya menolak permintaan ayah, dan merusakkan harapannya. Joana yang mencintai hukum Tuhan dengan sepenuh jiwa raganya, sangat menghormati ibu bapanya. Maka dimintanya beberapa minggu akan menyesuaikan dirinya dengan tugas baru ini. Lalu diterima oleh Joana tujuan hidup yang dianjurkan oleh ayahnya. Tahun itu juga 1592, pernikahan dilangsungkan dengan kebesaran, Joana menukar nama Fremiot dengan de Chantal dan turut pindah ke puri “Monthelon” rumah kediaman keluarga bangsawan de Chantal yang akan seharum bunyinya oleh jasa Joana. Di sini berakhirlah babak pertama kehidupan Joana sebagai seorang gadis.
Setibanya Barones de Chantal yang muda, puri Monthelon mengalami suasana yang serba baru. Kerapian yang tak mati atau suram karena kesukaan Joana akan bunga dan warna indah ditambah kegemarannya akan musik dan nyanyian merdu.

Namun tidak hanya tata tertib yang terbentuk baik-baik, suasana pergaulan di antara penghuni puri pun telah terbawa menurut corak cita-citanya yang luhur.
“Saya akan belajar mencintai kamu,” kata Joana kepada Christophorus sesudah menerangkan ketaatan niatnya terhadap keputusan ayahnya. Dan ucapan itu tiada hanya tinggal di mulut, pikiran atau perasaan saja. Dengan bersungguh-sungguh Joana berdiri disamping suaminya, mengerjakan apa yang telah mereka pikul bersama-sama, membawa sinar harapan baru dalam gelap gulita yang tebal. Joana berupaya merapatkan dirinya berjasa bagi daerah kediamannya. Ia mengajar anak-anak desa di sekitarnya. Kerap kali ia bertamu ke rumah orang-orang desa. Beberapa gadis remaja diajarinya menjahit, merenda dan sedikit pengetahuan umum. Dalam angan-angannya yang tinggi melambung telah membawanya ke seluruh daerah Monthelon kembali ke sang Juru Selamat.

Maka Tuhan menganugrahi mereka dengan enam orang anak. Dua meninggal pada umur bayi, sebagai ujian Tuhan akan ketaatannya. Tetapi empat lainnya sehat. Betapa teliti ibu Joana mendidik keempat permata mahkotanya itu.

Meskipun Baron de Chantal bukan termasuk golongan orang yang menghabiskan waktunya di lapangan olah-raga, tetapi berburu adalah kegemarannya. Pada suatu hari, pagi-pagi benar berangkatlah ia berkuda, disertai beberapa ekaor anjing berburu. Lengkap dengan senjatanya, dengan membawa makanan dan minuman. Senja hari, ketika matahari mulai membenamkan diri ia belum juga pulang. Joana merasa gelisah dan diutusnya dua orang pesuruh untuk menjemput suaminya. Tetapi pada waktu itu pula menghamburlah dua ekor anjing berburu itu masuk. Sambil melolong sedih ditariknya gaun Joana. Bersama-sama Baron de Chantal tua, dan pesuruh-pesuruh tadi, Joana berkuda mengikuti kedua anjing tersebut. Di tengah-tengah hutan hutan dekat pohon yang rindang mereka menemukan Christhoper terbujur kaku dijaga oleh kuda dan anjing yang lainnya. Bagaiman terjadinya malapetaka ini? Berbagai pikiran dan perasaan mangacau jiwa mereka. Tetapi, hal ini akan tetap menjadi rahasia karena orang yang dicintainya yang telah melalui gerbang akhirat tiada sanggup menjelaskan lagi ...

Joana berkabung, tidak seperti orang yang putus asa, namun sebagai seorang janda mulia yang yakin akan bertemu lagi di dunia abadi kelak. Kini Joana menyembunyikan diri di puri Monthelon hanya untuk mendidik keempat anaknya dan sebagai seorang juru rawat yang lemah lembut, karena sejak kematian anaknya, Baron de Chantal tua, yang telah berusia lanjut, sakit-sakitan. Matanya yang lesu agak bersinar dan senyum simpul sayup-sayup membayang pada raut mukanya jika Joana datang melayani. Itu semua terjadi pada tahun 1601 ketika Joana baru berumur 28 tahun.

Tiga tahun kemudian Joana berkenalan dengan seorang pastor yang saleh, Fransiskus dari Sales namanya. Kepada pastor itu Joana berani mengatakan keinginan hatinya, yang semenjak menjadi janda berkoar-koar lagi dalam kalbunya. Jelas baginya panggilan Tuhan yang mengajaknya hidup membiara. Tetapi Fransiskus dari Sales pura-pura tidak mengerti. Maksudnya hendak mencoba kesetiaan hati yang teguh itu. Baru setelah Baron de Chantal tua meninggal dan anak-anak Joana tidak lagi membutuhkan ibunya, Fransiskus sudi membantunya melaksanakan cita-cita Joana itu.

Pada waktu itu Fransiskus dari Sales telah diangkat menjadi Uskup kota Geneve.
Sebab itu dapatlah beliau mengizinkan Joana mendirikan biaranya yang pertama di kota Annecy pada tahun 1610. Tujuan yang utama adalah memberi pertolongan kepada mereka yang sedang bersusah karena sakit atau lanjut usia, pun memelihara anak-anak terlantar.

Tentu saja Joana menjadi buah tutur banyak orang, terlebih dari golongan luhur. Agaknya Barones de Chantal tiada beres pikirannya. Mereka yang menganggap “bahagia” sama dengan “hidup senang-senang” memang tiada dapat merasakan perasaan dan perjuangan dalam hati Joana. Maka dengan tidak mengindahkan pujian atau celaan, Joana berupaya sekuat-kuatnya di bawah pimpinan Uskup Fransiskus, dan menurutkan nasehat-nasehat dari Santo Vinsensius A Paulo yang bersahabat dengan Santo Fransiskus de Sales.

Tiga puluh tahun lamanya Joana bekerja sebagai ibu pemimpin bala Cinta Kristus, yang kini masih berjasa suster-susternya.

13 Desember 1641, Joana yang pada waktu itu tinggal di kota Moulins, berpulang. Biara Annecy sudah menyebarkan cabang-cabangnya ke 87 biara di kota-kota lain.

Berpulang, tetapi cita-citanya tetap tinggal hidup di antara suster-suster penganutnya. Hingga kini masih melingkar kenang-kenangan dari ibu Joana Francisca Fremiot de Chantal dengan anyaman pengertian dan penghargaan batin yang halus, patuh dan tekun adalah senjata utama dalam melasanakan cita-cita mulia.
Comments (0)

SANTO PETRUS KANISIUS (Saint Peter Canisius) – Punjangga Gereja
by Lances in


Pada suatu malam nan gelap, bahkan sebuah bintang pun tak nampak.
Peter, demikian nama panggilan Santo Petrus Kanisius, duduk termenung seorang diri dalam kamarnya. Dia sangat ingin mendengarkan dongengan ibunya. Tetapi kini ibu sedang sakit. Sakit parah…, sangat berbahaya.
Inilah yang membuat sunyi dan gelap dalam rumah dan dalam hati Peter sendiri, melebihi kesunyian dan kegelapan alam.

Beberapa saat kemudian, Peter bangkit dari renungannya, dan pergi menuju kamar ibunya. Perlahan-lahan dibukanya pintu kamar itu, sambil berjinjit Peter mendekati tempat tidur ibu. Ibu sedang tidur agaknya, ….. mukanya pucat pasi. Dengan tidak diketahuinya air mata meleleh dari dari pipinya. Kemudian berlutulah ia dan berdoa bagi ibunya yang sangat dikasihi dan dicintainya itu :

“Tuhan, ibu sedang sakit. Ibu yang selalu merawat dan menyayangi aku. Jika Tuhan mau, Engkau dapat sembuhkan ibuku. Tapi, yang terutama adalah KehendakMu, ya Tuhan yang harus terjadi pada ibuku.”
Ayah Peter yang seorang walikota itu masuk ke kamar. Melihat keadaan yang memprihatinkan itu, hilang akalnya. Sebab itu tuan walikota hanya keluar masuk kamar saja. Mukanya muram. Ketika Pastor datang, ayah sedikit tenang. Bapa Pastor membawa Sakramen Mahakudus dan Sakramen Minyak Suci. Untung ibu masih sadar, dan dapat mengikuti ucapan Pastor. Dan selama Sakramen Perminyakan Suci itu, ayah berlutut disamping Peter.

Setelah selesai semuanya, ibu yang tengah terengah-engah memberi isyarat kepada ayah sambil menunjuk kepada Peter, bisiknya : “Tinggalah tetap setia terhadap Agamamu. Didiklah Peter sebaik-baiknya sebagai putra Katolik…” Kemudian mata ibu terbelak dan pandangannya mengarah ke langit. Dadanya kembang-kempis, makin lama makin cepat. Tangannya yang dulu rajin bekerja, kini terhantar dikasur tak berdaya…. Akhirnya ibu telah berpulang. Senyum simpul yang masih terhias dibibirnya menghibur hati ayah dan Peter.
Karena selalu teringat pesan yang terakhir itu, Peter dididik ayahnya dengan saksama. Peter yang nakal dan jenaka itu suka sekali mengagetkan seisi rumah. Kadang-kadang, atas permintaan sang ayah, guru pun bersikap keras terhadap Peter. Tetapi pada saat belajar Peter tergolong anak yang rajin. Maka segera anak itu masuk golongan yang terpandai dikelas. Begitupun adanya selama Peter bersekolah. Teman-temannya suka bergaul dengan si pemberani yang lucu itu. Peter terpandai, putera seorang bangsawan kaya tetapi tidak sombong.

Ketika berumur 14 tahun, Peter menjadi mahasiswa sekolah tinggi di Koln. Waktu itu kota Koln serta seluruh Jerman Utara sedang mengalami kekacauan. Karena perbuatan beberapa pengacau, dengan tipu muslihat mereka berhasil menyesatkan pikiran beribu-ribu orang. Terutama para pemuda-pemudi, yang belum memiliki pendirian dengan mudah saja dibuat bingung dengan ajarannya yang baru itu.
Tak mengherankan bila ayah Peter agak khawatir. Dengan berhati-hati dipilihnya seorang yang beriman teguh untuk diserahinya Peter. Selama belajar di kota Koln. Demikian seorang imam bernama Eschius, mahaguru di sekolah tinggi tersebut, menjadi wakil ayah Peter. Dengan sungguh-sungguh serta bermaksud murni Eschius mendidik dan melatih murid-muridnya. Dengan keras ia menjauhkan niat serta usaha para pengacau kepada para muridnya.

Nyata pada mukanya, betapa sedih hati Eschius memikirkan hal ini. Dan berulang-ulang ia berseru : “Oh puteraku sekalian, ingatlah! Segala sesuatu palsu, kecuali … mengabdi pada Tuhan secara sejati. Itulah keselamatanmu!” Bertitik-titik perkataan itu meresap kedalam kalbu Peter. Akhirnya teranglah baginya tugas hidupnya. Belum lama keluarlah kabar, bahwa bapa Paus telah mengizinkan dan memberkati suatu perkumpulan bernama “Serikat Yesus”. Peter pun akan memilih Imamat. Selama hidup ia akan memperjuangkan “Kebenaran” berpanjikan Serikat Yesus. Setelah lulus dan bergelar “Doktor dalam ilmu filsafat”, Peter pulang pada ayahnya. Ayah telah menyediakan tugas yang luhur baginya. Peter menunggu dengan sabar hingga Ayah selesai menerangkan. Digelengkannya kepalanya. “Ayah, aku telah dewasa kini. Biarkan aku memilih sendiri tugasku. Lagipula berikan aku waktu agar dapat berpikir”
Ayahnya yakin Peter akan memilih sebaik-baiknya, Begitu Peter dapat menyiapkan segala-galanya dahulu sebelum membuka rahasia hatinya. Sekali lagi Peter pulang ke rumah, yaitu pada saat ayahnya sakit. Peter telah berganti pakaian dan memakai jubah sebagai seorang Frater dari Serikat Yesus. Ayah yang telah lama menantikan kedatangan Peter, tak putus asa memandang ke pintu. Tiba-tiba ayah terlonjak. Itulah Peter! Jantung ayah yang telah lemah tak kuasa menahan lagi perasaan yang hebat itu. Karena kegirangan melihat Peter, ayah pun jatuh pingsan. Dan tiada lama antaranya ayah pun berpulang ke rumah Bapa dan belum sempat berkata sepatah katapun.

Hari itu bulan Desember tahun 1543. Selalu akan dikenang oleh Peter. Siang malam berhari-hari lamanya Peter mendoakan ayahnya. Hatinya cemas, karena ayah berpulang dengan tiba-tiba. Untung Tuhan mau menghibur Peter. Entah bagaimana caranya Peter mendapat penglihatan : Ayah bersama-sama Ibu dalam surga.

Bulan Juni tahun 1546 Peter ditahbiskan oleh Uskup dikota Koln. Sekarang Pater Petrus Kanisius akan dapat mulai memimpin putera-putera Gereja yang tersesat oleh karena ajaran baru itu. Sebab itu Pater Kanisius menyiapkan dirinya, agar berkat Tuhan menyertainya. Malam hari setelah berdoa ia mngulangi pelajaran Kitab Suci. Surat-surat warisan para kudus yang masih tersimpan pun dipelajarinya dalam-dalam. Waktu untuk tidur! Hanya tinggal beberapa jam saja dan dini hari, sebelum fajar menyingsing. Pater Petrus Kanisius telah siap dan akan mengorbankan Misa Kudus.

“Niscaya, seorang Malaikat Serafin tak akan lebih hormat di altar” kata orang yang hadir pada misa itu. Siang hari sesudah mengajar di sekolah tinggi, anak-anak yang bersekolah ditingkat lebih rendah telah menantikan Peter sambil bermain. Riuh-rendahnya suara membumbung keatas, bergema kemana-mana. Tapi, baru saja Peter itu tampak anak-anak segera berbaris penuh hasrat mendengarkan ceriteranya tentang Yesus dan Bunda Maria. Penuh sabar dan tak jemu-jemu Pater Kanisius melatih pikiran anak-anak itu hingga mereka pandai juga. Meskipun masih kecil dapat membedakan yang benar dari yang palsu.
Begitu juga Pater Kanisius mengorbankan waktunya yang terluang bagi orang dewasa yang belum cukup paham. Lambat laun berkat usahanya itu seluruh kota koln, kaya-miskin, tua-muda, begitu mencintai Pater Kanisius yang rendah hati itu. Tapi, tidak hanya kota Koln yang menjadi medan peperangan bagi Pater Petrus Kanisius. Masih ada banyak kota lain yang membutuhkan prajurit Yesus yang gagah berani itu.
Keadaan kota Ingolstadt buruk sekali. Gedung yang bertingkat-tingkat tingginya. Tetapi penghuninya telah melupakan akan sikap dan kewajiban sebagai umat Gereja. Mereka hanya mengejar yang duniawi semata, mulai dari pembesar hingga yang hina sekalipun. Begitu pula mahasiswa, mereka sama sekali tidak mengenal aturan, tak mau belajar. Maka pada tahun 1549 Pater Petrus Kanisius dipindahkan ke sekolah tinggi dikota Ingolstadt. Sementara itu Pater Kanisius telah mencapai gelar “Doktor dalam ilmu Ketuhanan”juga.
Waktu Pater Kanisius untuk pertama kalinya pergi ke sekolah tinggi itu, para professor dan mahasiswa sekalian telah menantikannya diruang pertemuan yang luas. Nyata tampak mereka tak senang. Apakah gerangan tindakan Rektor yang baru nanti?...

Itulah Pater Kanisius! Mata hadirin memandang kepadanya. Bukanlah namanya yang harum sudah tiba lebih dahulu di kota Ingolstadt? Agak kurus, matanya cekung, bibirnya terkatup. Raut muka dan gerak badannya menyatakan kepastian , keberanian dan kecerdasan.
Seketika sunyi senyap. Pater Kanisius mengerti. Kemudian diuraikannya maksud serta cita-cita yang mendorongnya. “Aku yakin di antara kamu pasti masih ada banyak yang mengandung benih “Kebenaran”. Maka dengan rahmat Tuhan benih itu akan tumbuh, menjadi sebatang pohon yang rimbun … menjadi tempat orang bernaung”

Sesaat serempak suara mereka memecah udara : “Selamat dating Pater!” Pater Kanisius tersenyum. Di antara para professor itu ada yang masih bermuka suram. Sebulan kemudian nama Pater Kanisius telah dipuji-puji muridnya. Pada suatu hari kata Pater : “Siapakah di antara kamu yang suka memperdalam pengetahuan tentang agamamu, tiap-tiap sore boleh datang ke Gereja.” Tak ada yang menjawab, mereka hanya berpandang-pandangan saja. Tapi sorenya ada juga beberapa mahasiswa yang telah menanti di muka Gereja. Pada waktu yang telah ditentukan Pater Kanisius datang … dan matanya bercahaya kegirangan. Diajaknya mereka masuk … Mulailah ia dengan pelajarannya.
Sejak sore itu makin banyak pemuda-pemudi dating, hingga sekolah tinggi kota Ingolstadt pun merupakan suatu markas “Kebenaran”. Dan distu jualah Konggregasi Perawan yang pertama di negeri Jerman. Namun, hati Pater Kanisius belum puas. Cintanya pada Tuhan Yesus, makin hebat berkoar. O, betapa baiknya jika seluruh kota Ingolstadt kembali kepada ajaran Sang Kristus.

Pater Kanisius juga mengajar anak-anak kecil. Ya, yang terkecil sekalipun tak pernah ditolaknya. Pater itu seakan-akan tak pernah merasa lelah. Anak-anak selalu dengan gembira mendapatkan Pater Kanisius. Ya, mereka telah sukarela mengorbankan waktunya, lebih suka hadir pada Misa Kudus daripada bermain. Akan tetapi Pater Kanisius belum juga puas …. Memang para ibu-bapa membiarkan anak-anaknya. Namun mereka sendiri tak pernah ikut! Orang itu seperti sudah melupakan jalan yang mengarah ke Gereja. Tak pernah orang dewasa ini merasa membutuhkan Ekaristi Suci! Pater Kanisius mencari akal … Anak-anak itu dilatihnya berarak, yang kecil dimuka. Dilatihnya berjalan teratur sambil menyanyi lagu-lagu pujian seperti pada waktu prosesi.
Pada hari raya akan dicobanya akal itu ……..

Hari raya yang dinantikan Pater Kanisius telah tiba. Terang cuaca seolah-olah meramalkan suatu hari yang istimewa. Anak-anak akhirnya telah berkumpul di tanah lapang berpakaian serba putih. Dan para ibu-bapa yang ingin mengetahui apakah yang dirindukan anak-anak itu. Sudah siap sedia akan menonton di tepi jalan.
Perarakan dimulai … mereka bergerak secara perlahan. Adalah pita putih yang menunjukkan jalan kepada ibu-bapa. Suara yang nyaring bagai bunyi lonceng perak yang mengharukan ibu-bapa. Mereka teringat masa mudanya. Dengan tidak sadar, mereka telah turut berduyun-duyun mengikuti anak-anak itu masuk kedalam Gereja … Akal Pater Kanisius berhasil. Semenjak hari itu para ibu-bapa berdamai dengan Tuhan. Kota Ingolstadt pun sudi menerima ajaran Tuhan.

Seperti sulu yang bernyala serta menjalar kemana-mana. Begitulah semangat Pater Kanisius.
Pada tahun 1552 Pater Kanisius dipindahkan ke Austria tepatnya di ibukota Wina. Para pembesar dan bangsawan hidup berlebih-lebihan. Pemuda-pemudi hamper semuanya hanyut oleh kebesaran itu. Pater Kanisius terpaksa harus bergaul dengan para mulia itu, dapat dan menyaksikan hal menyedihkan itu. Apa gunanya mendidik dengan susah payah, jika suasana di rumah selalu seperti itu. Dengan cemas Pater Kanisius mengalami beberapa hal menyedihkan, panggilan Tuhan tak dihiraukan oleh pemuda karena kongkongan duniawi!

Pater Kanisius menimbang sebaik-baiknya, lalu bertindak. Disediakannya kolese dengan asrama terutama untuk para pemuda bangsawan. Mujurlah banyak yang masuk! Demikian juga yang terjadi pada seminari yang pertama. Tempat dimana calon Imam dapat dididik dan diselenggarakan dengan teliti.  Di kota Wina, Pater Kanisius dipilih sebagai calon Uskup. Pater Kanisius terkejut mendengar kabar itu. Dengan rendah hati dimintanya kepada pembesar serta kepada sri Paus.
“Hamba merasa tak sanggup memenuhi derajat yang tinggi itu. Demi Kasih Tuhan biarlah hamba tinggal sebagai seorang Imam biasa” Untung Pater Kanisius ridak dipaksa oleh pembesar, karena kita sekalian masih membutuhkan pertolongan Pater Kanisius.

Para pengikut agama baru itu makin tersesat. Mereka membenci kepada Paus karena beliau tak mau mengizinkan yang dimintanya. Mereka memberontak, tak mau pula mengakui kedudukan Paus. Maka kekacauan pikiran makin hebat di negeri Jerman.

Pater Kanisius telah lama memikirkan bagaimana dapat mencegah malapetaka itu. Untuk para terpelajar sudah tersedia beberapa jalan yang terang yang disusun oleh Pater Kanisius. Tapi rakyat jelata serta anak-anak pun harus tertolong. Lama Pater Kanisius merenungkan hal itu dalam hatinya.
Pada suatu waktu ketika sedang sembayang, tahulah Pater akan caranya. Ia menulis buku Katekismus! Matanya tajam bagai menembus pintu tabernakel. Pater Kanisius sedang bersyukur, dan berunding dengan Yesus tentang Katekismus itu. Bisiknya : “Yesus biarlah Katekismus itu menjadi senjata yang melemahkan musuhMu. Sebaliknya biarlah Katekismus itu menjadi perisai sakti bagi mereka yang percaya atasMu.”

Dengan sabar Pater Kanisius mengerjakannya. Buku Katekismus harus sempurna, agar dapat dipakai sebagai pedoman bagi semua orang.  Akhirnya buku itu selesai, dan Sri Paus memberkati buku itu. Katekismus itu menjadi pokok yang dipergunakan di seluruh dunia. Jadi yang tersusun oleh Pater Kanisius 350 tahun yang lampau itu, menjadi dasar Katekismus kita yang sekarang juga.
Ketika Pater Kanisius telah lanjut usianya, beliau tak dapat lagi meninggalkan kamarnya. Sehingga menjadi sering sakit-sakitan. Betapa menyedihkan hal itu bagi seorang yang biasa giat berusaha! Namun pahlawan kita tetap mulia. Kesal hati tak sekali membekas keluar.

Pada suatu pagi Pater Kanisius merasa amat lelah. Melihat hal itu Seorang Imam berkata : “Pater, waktunya tinggal sedikit lagi!”
Mendengar itu mata Pater Kanisius bercahaya : “saya telah siap!”
“Saya akan pergi, Doakanlah!” ujarnya pada para Imam yang sedang mengunjunginya.
Seorang Bruder yang menunggu didekatnya, menghibur dan mencoba meringankan derita yang ditanggung Pater Kanisius. Ketika Bruder menanyakan apakah ada permintaan yang terakhir dari Pater, dijawab Pater Kanisius yang suci itu : “Aku tidak ingin apa-apa lagi, bruder, yang saya inginkan hanyalah semoga saya dapat berkumpul dengan Bapa di Surga selekas mungkin!”
Beberapa menit sebelum berpulang, mata Pater Kanisius yang telah kabur memandang kepintu. Sambil menganggukan kepalanya sebagai tanda hormat, beliau berseru : “O lihatlah … Ave Maria!”
Pater Kanisius tak dapat berkata lagi. Jam 3 siang tanggal 21 Desember 1597, Pater Kanisius berpulang. Usianya 76 tahun. Penghuni kota Friburg berkabung, tapi juga bergembira karena makam Pater Kanisius akan menjadi milik kota Friburg.

Pada tahun 1864 Pater Kanisius diberi gelar Beato dan pada tahun 1925 mendapat gelar Santo. Pestanya digelar pada tanggal 27 April. Sampai sekarang jasa beliau masih tetap terdengar didunia. Santo Petrus Kanisius pelindung sekolah-sekolah, kolese-kolese, universitas-universitas dan percetakan. Jangan kau lupakan cintaNya kepadamu. Pelajari baik-baik Katekismus agar sungguh menjadi perisai sakti bagimu.
Comments (2)

JEANNE D’ARC – Pemudi Kota Orleans
by Lances in

Cerita ini terjadi pada permulaan abad yang ke-15.

Jacobus d’Arc dengan isterinya Isabella Romme tinggal dalam sebuah kota kecil bernama “Domremy”. Domremy letaknya di Perancis, di perbatasan propinsi Champagne – Bourgondie dan Lotharingen.

Jacobus d’Arc dan Isabella hidup saleh, berdamai dengan tetangganya, serta sopan santun dalam segala perbuatannya dan dalam segala percakapannya. Mereka tidak kaya, sebaliknya Jacobus d’Arc dan Isabella terpaksa membanting tulang, dari pagi hingga petang mereka bekerja dengan rajin dan teliti untuk mencari nafkah. Meskipun demikian, kedua suami-isteri itu berhati tentram. Lagipula dengan senang hati masih menolong sesama manusia yang miskin.

Keadaan disekeliling kota Domremy sunyi, indah dan subur, nyata benar daerah yang elok itu diberkati oleh Tuhan. Padang rumput yang menghijau seluas-luas mata memandang banyak terdapat disitu. Bidang gandum yang menyerupai gelombang emas yang tertiup angin, kebun buah-buahan serta bukit-bukit anggur yang menghampar. Dan diantaranya sungai Meuse yang kecil itu mengalir berliku-liku tidak teratur. Begitulah keadaan tanah air Jeanne, pemudi kota Orleans.

Jacobus d’Arc memiliki 3 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan. Anak-anak itu dididiknya secara Katolik sejati dan secara sederhana. Dari kecil anak-anak itu sudah menolong ibu-bapanya dikebun dan dirumah. Demikian pula anaknya yang bungsu, yaitu Jeanne. Gadis itu amat menyenangkan ibu-bapanya. Mujurlah, rupanya pada Jeanne tertanam berupa-rupa benih kebajikan.

Jeanne itu pengiba, lemah-lembut, rendah hati dan rajin bekerja. Lagipula rupanya Jeanne taat berbakti kepada Tuhan dan Bunda Maria. Tetapi Jeanne yang pandai bekerja dikebun dan dirumah, Jeanne yang cekatan mangantih dengan penyering itu tidak pandai belajar. Membaca dan menulis ia tidak bisa, bila berdoa tidak pernah ia memakai buku. Dalam cerita ini membuktikan bahwa Tuhan tidak membutuhkan kepandaian semata. Kepandaian itu berfaedah, tetapi hanya kebajikanlah yang berjasa.
Jeanne bertabiat riang, tetapi meskipun demikian kadang-kadang mukanya yang jernih itu berubah menjadi muram, cahaya matanya berganti pudar. Apakah yang terpikirkan oleh gadis itu?

Domremy letaknya terpencil, jauh di pegunungan. Meskipun demikian, sekali-kali juga berita yang mengkhawatirkan sampai di kota Domremy. Sri Baginda Raja Charles ke-6 ditimpa penyakit gila. Putranya, Pangeran Charles ke-7 belum tentu akan dinobatkan menjadi raja Perancis.

Negri Perancis sedang kacau! Bangsawan yang bergelar “Le Duc de Bourgondie” bermusuhan dengan “Le Duc d’Orleans”. Ya, kedua bangsawan itu berusaha sekuat-kuatnya untuk mengembangkan kekuatannya. Dengan cerdik dicarinya tipu muslihat, supaya Pangeran Charles ke-7 tidak bertakhta di Perancis. Mereka tahu betul mempergunakan pepatah : “Tahanlah jerat di tempat yang genting”. Tetapi, bila gajah berjuang bersama gajah, pelanduk mati ditengah-tengah. Begitulah juga di Perancis , rakyat terdesak dan menderita. Laskar perancis teradu, bagian yang satu melawan yang lainnya.

Dan Pangeran Charles ke-7 tidak berdaya, tidak mempunyai kepastian. Kadang-kadang murka, mengamuk amat dahsyat dan adakalanya ia termangu-mangu berputus asa.
Biduk satu, nahkoda tiga! Mana boleh! Musuh Perancis mengintai dengan senang! Menunggu saat yang terbaik untuk menyerang! Itulah yang menyebabkan pikiran Jeanne menjadi muram. Ia cinta kepada tanah airnya! Oo, Jeanne sudi mengorbankan dirinya, asal saja tanah Perancis menjadi tentram. Tentu, waktu sembayang juga ia berdoa dan memohon rahmat dan pertolongan Tuhan untuk kerajaan Perancis yang malang ini.

Dekat rumah Jacobus d’Arc adalah bukit dan dipuncak bukit itu, tepatnya di bawah tebing batu yang curam tampak air membual-bual. Air kolam itu bening laksana kaca dan begitu juga kata orang, air itu baik untuk dipakai sebagai obat. Di pinggir kiri ada sebuah batang pohon yang umurnya sudah tua, daunnya yang rimbun membayang di didalam air. Di tengah dan di tepi sebelah sana tumbuh sejenis rumput yang panjang tempat burung-burung bersembunyi. Dekat disitu berdiri sebuah patung Bunda Maria yang selalu terhias bunga.
Jeanne suka sekali duduk beristirahat dibawah pohon itu. Pada suatu hari Jeanne sedang duduk diatas akar pohon itu sambil menjaga kambing bapanya yang mencari rumput muda, Jeanne terkejut. Tiba-tiba terperanjatlah ia! Cahaya terang mengelilinginya! Jeanne berdiri hendak mengumpulkan kambingnya. Pada sangkanya itu adalah halilintar yang biasanya mendahului hujan, Tetapi apakah itu?

Dalam cahaya Jeanne melihat seorang manusia, seorang manusia yang bersayap! Dengan tenangnya manusia itu memandang pada Jeanne. Karena dilihatnya gadis itu ketakutan, ia memperkenalkan dirinya : “Jangan takut Jeanne! Aku adalah Malaikat! Namaku Michael. Bersiaplah Jeanne! Berdoalah yang sungguh-sungguh, pergilah ke misa Kudus setiap mungkin. Tuhan akan menolong Perancis! Dan ….. Tuhan akan memakai tenagamu! Sekian Jeanne sampai berjumpa lagi.” Sekonyong-konyong hilanglah cahaya itu, Jeanne menggosok-gosok matanya. Bermimpikah ia?! Terang kelihatan, nyata terdengar. Jeanne duduk kembali, bertopang dagu, termenung sejenak, kemudian gadis itu pulang.

Rahasianya akan disimpannya baik-baik. Pada bibirnya yang terkatub itu bermain senyum simpul. Pada matanya yang memandang jauh kedepan itu terbayang harapan yang besar. Jeanne mulai menyiapkan dirinya sesuai kehendak Tuhan. Betulkah, Malaikat Michael akan datang lagi???.....

Ya betul, Malaikat Michael datang lagi, didampingi oleh Santa Katarina dan Santa Margareta. Berulang-ulang mereka mengunjungi Jeanne, supaya berani dalam menghadapi beban berat yang akan diembannya. Pada suatu ketika bertitahlah Malaikat Michael : “Jeanne, sekarang saat yang dinantikan telah tiba. Engkau harus berangkat! Pergilah kepada tuan Gubernur dikota Vaucouleurs. Mintalah kepadanya, kiranya sudi mengantarkan enkau kepada Raja Charles.”
Jeanne terkejut! Berangkat dan menghadap Raja?! “Saya tidak pandai berbahasa Perancis yang sopan. Masakan akan diterima! Dan apakah yang harus kukatakan?”. Tetapi Malaikat Michael tetap mendesak : “Jangan khawatir,Jeanne! Pikiranmu akan diterangi Roh Kudus!”
Maka pada suatu hari Jeanne meminta izin kepada ibu-bapanya. Mereka tentu saja heran mendengar permintaan Jeanne yang aneh itu. Mula-mulanya bapanya tertawa : “Apa Jeanne? Engkau seorang gadis hendak mau berperang, hendak membebaskan Perancis!? Mustahil, jangan engkau gila begitu! Bermimpikah kamu Jeanne!?”
Kemudian karena Jeanne terus memaksa, Jacobus d”Arc amat marah kepada anaknya itu. Hanya pamannya yang percaya atas keseriusan gadis itu. Paman itu juga yang mengantarkan Jeanne ke kota Vaucouleurs.

Gubernur Robert de Baudricourt memandang kepada Jeanne dengan takjub … dan mengatakan bahwa ia sama sekali tidak percaya. Bahwa peristiwa itu tidak mungkin terjadi dan Jeanne disuruhnya pergi. Tetapi Jeanne tidak berkecil hati dan berputus asa. Berulang-ulang ia kembali dan memohon dengan sangat, supaya dapat menghadap Raja Charles. Akhirnya, karena kesal, Jeanne dibawanya juga di istana tempat kediaman Raja Charles.

Ketika Jeanne tiba, banyak yang sudah hadir disitu. Raja Charles berpakaian sederhana saja dan tidak seorangpun yang menunjukkan padanya akan Raja Charles. Walaupun begitu, oleh suatu penerangan batin, Jeanne dapat mengenalinya. Dengan tidak ragu-ragu, ia member hormat secara adat Perancis. Suaranya jelas dan nyaring terdengar sampai tiap sudut : “Hamba, ialah pemudi yang akan membebaskan tanah Perancis. Bukan karena kekuatan hamba sendiri, bukan karena kecerdikan akal hamba, bukan karena kebijaksanaan pikiran hamba, melainkan karena kekuatan Yang Maha Tinggi, yang telah memerintah hamba. Hanya karena inilah tugas dalam kehidupan hamba.”

Pengeran Charles ke-7 beserta hadirin yang hadir terdiam dan termenung. Mereka mengamat-amati badannya yang kecil, pinggangnya yang ramping serta tangannya yang kecil. Betulkah gadis itu akan kuat berperang???
Pangeran Charles menimbang : “Apa salahnya dicoba. Jika benar gadis itu terdorong oleh suatu Kuasa!? Bukankah patut diterimanya karunia semacam itu! Musuh tanah Perancis telah mendarat dan bertambah hari bertambah banyak”

Maka terjadilah, Jeanne mengepalai sepasukan serdadu. Sejak itu ia bertukar pakaian. Ia memakai pakaian perang dari besi. Ia berpanjikan sehelai bendera putih berhias Salib. Suara Wahyu selalu terdengar olehnya. Dan Jeanne selalu menuruti kata-kata tersebut. Malam hari, bila pasukan tertidur nyenyak, Jeanne berlutut dalam kemahnya. Berdoa, agar tanah Perancis terpelihara, agar para pasukan terlepas dari bahaya maut. Keselamatan serdadu musuh juga tidak dilupakannya

Oo, tabiat gadis itu, tidak berubah. Selahirnya Jeanne adalah seorang pengiba, menjadi sedih bila memikirkan kematian yang akan menimpa serdadu-serdadu itu. Sebelum pergi menyerang, Jeanne biasanya berdoa dahulu, memohon rahmat dan pertolongan Tuhan untuk mereka yang akan menjadi korban. Dan bila diterimanya kabar beberapa serdadu telah terbunuh atau luka. Jeanne acap-kali menangis, seolah-olah seorang ibu yang menangisi anaknya.
Sekalipun ada yang bertanya : “Jeanne, apakah Tuhan hanya mengasihi tanah Perancis? Bukankah serdadu musuh itu juga MakhlukNya?!” Jeanne tersenyum dan menjawab : “Tentu demikian, tuanku. Tetapi, kehendak Tuhan ialah semua bangsa tinggal dengan tentram dalam negerinya masing-masing. Jadi berperang hanya untuk meluaskan kekuasaan duniawi, itulah tidak berkenan pada Tuhan.”

Berkat pertolongan Yang Maha Tinggi itulah, Jeanne menang! Keberanian dan kepercayaan serdadu-serdadu Perancis makin meluap. Laskar Perancis dengan sukarela mengikuti panji Jeanne. Perjuangan antara kedua bangsawan segeralah selesai. Kini semua orang tertarik kepada Jeanne yang rupanya ahli dalam strategi perang yang selalu membawa pasukannya kepada kemenangan

“Kemenangan”… bukankah perkataan itu harum, masyur dan cemerlang?! Dan suasana Laskar Jeanne adalah persaudaraan. Caci-maki tiada terdengar. Malakukan hal yang tidak senonoh, tiada yang berani. Prajurit-prajurit itu yakin bahwa Jeanne itu hidup bertapa dan berpantang. Sebelum menyerang, Jeanne mengirimkan kabar supaya musuh untuk menyerah dan menyelamatkan diri mereka. Tetapi biasamya kabar itu dianggap sebagai penghinaan, dan musuh akan semakin marah. Dan bila serdadu Perancis letih, bila mereka takut karena tentara musuh jauh lebih besar, jauh lebih sempurna senjatanya, Jeanne berkuda menuju ke depan medan pertempuran sambil mengayunkan benderanya. Melihat hal itu bangkitlah semangat juang mereka.

Berkat pertolongan Jeanne maka terbebaslah kota Orleans dari gempuran musuh. Inilah pertempuran yang dasyat. Kemenangan yang sungguh-sungguh penting. Sekarang musuh terpaksa meninggalkan Perancis. Sekarang terbuka jalan menuju kota Rheims. Sekarang dapatlah Jeanne memenuhi perjanjiannya : mengantarkan Pengeran Charles ke-7 ke Rheims, supaya ia dinobatkan menjadi raja secara adat Perancis. Pada hari kemujuran dan penuh semangat itu kegembiraan bangsa Perancis memuncak. Dan mereka memuja-muja Jeanne d’Arc. Tetapi tidak demikian dengan beberapa orang yang memusuhi Jeanne karena keberhasilannya. Mereka menyebar fitnah bahwa Jeanne itu seorang penipu, pembohong. Mungkin juga Jeanne itu adalah penjelmaan setan, karena itu kudanya bisa berlari secepat angin. Bagaimanapun juga Jeanne itu harus ditangkap dan dihukum mati.

Dan akhirnya Jeanne mengetahui juga hal itu. Suara wahyu mengatakan : “Jeanne, pekerjaanmu telah selesai! Sejak ini karuniamu akan meninggi. Engkau selalu berdoa untuk tanah Perancis, untuk keselamatan laskarmu, untuk musuhmu. Badanmu sendiri kau lupakan, itu adalah hal sangat mulia. Sekarang terimalah karunia Tuhan. Terimalah lambang kemenangan yang tidak akan terlupakan!” Dengan hati yang berdebar-debar, dengan suara yang sayup-sayup bertanyalah Jeanne “Apakah karunia itu?” Dan suara menjawab : “Engkau akan tertawan, akan dihukum mati, akan dibakar hidup-hidup.”

Jeanne mengeluh dan merintih : “O, aduh masakan saya akan kuat menghadapinya!” jawabnya : “Ya Jeanne, kau akan kuat karena kekuatanmu ada pada Penebus yang terpaku pada Kayu Salib!” Sejak saat itu pergaulan suci terhenti, Jeanne tidak lagi mendengar suara Malaikat Michael. Demikian yang terjadi, Jeanne hendak pulang kerumah orang tuanya tetapi tidak diizinkan. Pada suatu hari Jeanne akhirnya ditangkap dan dibawa kepengadilan. Tetapi hakim-hakim yang mengadilinya tidak jujur. Bila Jeanne berkata benar maka tidak ditulis, bila Jeanne mengatakan yang dianggap salah segera dicatat. Akhirnya Jeanne dijatuhi hukuman mati.
Didalam pasar dikota Rouan di muara sungai Seine telah tersedia onggokan kayu besar dan tinggi. Sementara itu Jeanne mengalami kegelapan jiwa. Suara yang menghibur, yang menjadi pelita pikirannya tidak lagi terdengar. Kekacauan dan ketakutan hatinya pada waktu itu tiada terlukiskan…

Setibanya diatas onggok kayu, tiba-tiba teringat nasihat : “Kekuatanmu pada Penebus terpaku di Kayu salib!” Jeanne pun berseru meminta sebuah Salib. Seorang serdadu yang menaruh belas kasihan mematahkan sebuah tongkat. Diikatnya menyerupai Salib dan diberikannya kepada Jeanne. Sejenak kemudia Jeanne meminta sebuah salib dengan sebuah patung Penebus tergantung padanya. Ketika itu api berkobar semakin besar. Karena keinginan seorang yang dihukum mati, mereka mengambil sebuah Salib dari Gereja. Pada saat itu juga kepastian Jeanne telah kembali.

Nyaring terdengar sampai ke segenap penjuru Jeanne berseru : “Aku tidak berdusta. Suara Malaikat sungguh-sungguh terdengar padaku. Tugas hidupku ini berasal dari Sorga!”
Asap membumbung tinggi ke atas menyelimuti badan yang ramping lampai itu. Apa yang terjadi tidak tampak. Sejam sesudahnya abulah yang tertinggal. Angin berhembus sepoi-sepoi. Mengangkat abu yang ringan lagi murni. Kemudian disebarkannya kemana-mana, seakan hendak menandatangani warisan kasih Jeanne terhadap bangsa Perancis.

Jeanne d’Arc berumur 19 tahun. Lahir pada tanggal 5 Januari 1412. Meninggal pada tanggal 30 Mei 1431. Setelah meninggal perkaranya diselidiki lagi dan terbukti bahwa Jeanne d’Arc tidak bersalah. Hingga kini Bangsa Perancis terus membanggakan Jeanne dan menganugrahkannya dengan gelar pahlawan Perancis.
Comments (1)